Di
negeri ini, menikahi anak perempuan dibawah umur tampaknya sudah menjadi trend tersendiri. Hampir di setiap
strata publik, mulai dari Kiyai hingga masyarakat awam, melakukannya. Kita
tentu masih ingat sosok Syekh Puji, yang menikahi perempuan dibawah umur, Lutfiana
Ulfa yang berumur 12 tahun. Kasus ini tersebar luas, hingga seluruh masyarakat
Indonesia mengetahuinya. Sontak tindakan Syekh Puji mendapat kecaman berbagai
LSM, khususnya KPAI, sampai-sampai Kak Seto mendatangainya dan berbicara
langsung agar membatalkan tindakannya. Karena tindakan ini adalah pelecehan
seksual. Dapat dikatakan secara psikologis bahwa lelaki yang melakukannya
mengidap pedofilia. Meski ditentang dan prilakunya dianggap menyimpang, Syekh
Puji tetap bersikeras dan tidak merasa bersalah, karena ia menganggap
tindakannya sesuai dengan Sunnah Nabi.
Hal
ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia Islam. Di Yaman,
seorang pengantin perempuan dibawah umur tewas lima hari setelah pernikahannya
akibat pendarahan dan kerusakan organ seksual. Ia adalah Ilham Mahdi al-Assi
perempuan berusia 13 tahun. Meskipun pemerintah Indonesia, Yaman dan di
berbagai negara telah menetapkan UU yang melarang pernikahan dini, tetapi masih
banyak yang melakukannya secara diam-diam.
Hal
ini disebabkan karena masih banyak masyarakat muslim yang menganggap bahwa
menikahi anak kecil sebagai Sunnah Nabi.
Mereka berdalih bahwa Nabi Muhammad melakukannya, sebab ia menikahi Ummul Mukmimin Aisyah tatkala berusia
enam tahun, dan kumpul serumah tatkala berusia sembilan tahun. Oleh karena itu,
melakukannya adalah Sunnah dan baik.
Jika ada yang menilai bahwa tindakan menikahi anak kecil adalah menyimpang,
maka penilaian itu tidak benar. Sebab Rasulullah melakukannya, dan beliau Saw
adalah suri teladan yang agung dan patut ditiru (Q.S. al-Qalam: 4)
Walaupun
mereka ingin meniru prilaku Nabi, namun mereka terlalu terburu-buru membenarkan
tindakan beliau Saw. Jika tindakan Nabi dianggap menyimpang, dan disisi lain
beliau sebagai suri teladan yang patut ditiru, maka kebenaran tindakan tersebut
patut diragukan. Seorang muslim sejati seharusnya sensitif terhadap hal-hal
tabuh yang dilakukan Rasulullah dan kembali menyoroti serta meneliti ulang
kebenarannya. Tidak hanya pada hal ini saja, namun pada berbagai hal yang tak
pantas dilakukan oleh sosok Nabi.
Penulis
tidak hanya meragukan riwayat pernikahan dini Ummul Mukminin Aisyah dengan Nabi Muhammad, tapi menolak riwayat
tersebut dan mengecam tindakan itu serta mengecam pelaku yang mengatasnamakan Sunnah Nabi. Agar perkara ini jelas, tiada
lain penulis hendak melihat kembali riwayat tersebut dan mengoreksinya baik
dari sisi sanad serta matan. Penulis kutip satu riwayat yang
terdapat dalam Sahih Bukhari.:
“Disampaikan
kepada kami oleh Farwah bin Abi Mighra’ dari Ali bin Mashur dari Hisyam (bin
Urwah) dari ayahnya dari Aisyah r.a berkata: Nabi Saw. menikahiku, ketika itu
aku adalah seorang anak berumur enam tahun. Kemudian kami hijrah ke Madinah dan
kami sampai di rumah klan Harts bin Khazraj. Saat itu aku demam, rambutku
rontok dan terurai yang kemudian tumbuh lagi sampai pundak.
Maka
datanglah ibuku, Ummu Ruman, ketika itu aku berada dalam ayunan bersama teman-temanku.
Ibu memanggilku akupun mendatanginya tanpa mengetahui apa yang dikehendakinya
dariku. Ia memegang tanganku sampai ia menghentikanku di depan pintu rumah. Aku
tersenggal-sengal, kemudian ia mengambil air dan mengusap wajah dan kepalaku.
Lalu ia memasukkanku ke rumah. Didalam rumah terdapat kaum wanita Anshar yang
berkata, ‘semoga engkau dalam kebaikan, berkah dan keberuntungan’ dan ia
menyerahkanku pada mereka. Lalu mereka mendandani diriku. Tak disangka-sangka Rasulullah
mendatangiku di pagi itu. Dan mereka menyerahkanku padanya. Kala itu umurku
sembilan tahun”.(Sahih Bukhari: Kitab
Manaqib al-Anshar, bab Tazwij al-Nabi Aisyah, No. 3894)
Demikianlah
riwayat pernikahan dini Ummul Mukmin
Aisyah dengan Nabi Muhammad yang penuh dengan kejanggalan. Riwayat serupa
dengan berbagai redaksi dapat dijumpai diberbagai kitab-kitab hadis. Beberapa
catatan yang perlu diingat mengenai riwayat diatas, yaitu pertama, Nabi menikahi Aisyah dua tahun sebelum hijrah, saat itu
Aisyah berumur enam tahun, dan umur Nabi lima puluh satu tahun (Bukhari, hadis
No 3896).
Kedua,
Nabi kumpul dengan Aisyah setahun setelah hijrah, Aisyah berusia Sembilan tahun
dan Nabi berusia lima puluh empat tahun. Ketiga,
Aisyah tidak mengetahui bahwa ia dinikahkan dengan Nabi, dikatakan dalam
riwayat diatas “tak disangka-sangka Rasulullah mendatangiku dipagi itu, dan
mereka menyerahkanku padanya”, ini mengindikasikan bahwa Nabi menikahinya tanpa
izin darinya.
Keempat,
Aisyah terlihat begitu kekanak-kanakan dan gemar bermain “aku berada dalam
ayunan bersama teman-temanku”, sehingga tidak pantas disebut wanita yang cukup
umur untuk dinikahi.
Sebelum
melangkah lebih jauh, perlu diketahui, bahwa masyarakat Arab primitif tidak
biasa menulis hari kelahiran mereka. Banyak diantara para tokoh Islam yang
tidak diketahui tanggal lahirnya. Ada juga yang kebetulan diketahui tanggal
atau tahun kelahirannya karena bertepatan dengan suatu peristiwa penting. Nabi
Muhammad misalnya, tanggal kelahirannya masih diperselisihkan. Ada yang
mengatakan tanggal 12 Rabi’ al-Awwal, ada juga yang mengatakan tanggal 17 Rabi’
al-Awwal. Namun tidak ada yang berselisih mengenai tahun kelahirannya, karena
bertepatan dengan penyerangan Abrahah ke Mekkah dengan pasukan gajah, sehingga
tahun itu disebut tahun gajah, sekitar 53 tahun sebelum Nabi hijrah.
Dengan
demikian, mencari tanggal lahir tokoh-tokoh kita, bagaikan mencari jarum dalam
jerami. Kebiasaan tidak mencatat tanggal lahir ini, berlangsung hingga satu
milinium, Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Saud, pendiri kerajaan Arab Saudi yang
meninggal pada tahun 1953, tidak diketahui pasti tanggal lahirnya. Bahkan di
bumi nusantara ini juga banyak yang tidak mencatat tanggal lahir mereka,
khususnya masyarakat pinggiran, sampai sekarang.
Kembali
ke permasalahan riwayat tadi, Sejauh yang penulis dapati, terdapat dua puluh
tiga riwayat tentang pernikahan dini Aisyah di empat kitab, yakni Bukhori,
Muslim, Nasa’i, Ibn Majah. Diantara dua puluh tiga riwayat tersebut, tujuh
belas riwayat bersumber dari Hisyam bin Urwah. Sisanya dari murid-murid Hisyam,
yakni Ma’mar, Abu Mu’awiyah, Waki’ (Tahdzib
al-Tahdzib, dalam biografi Hisyam) serta para pendusta lainnya.
Sosok
Hisyam bin Urwah, sangat penting untuk diketahui. Karena ia adalah tokoh sentral
dari tersebarnya banyak riwayat yang sedang kita kaji. Ia lahir di Madinah pada
tahun 61 H - Tahun kelahirannya diketahui, karena bertepatan dengan peristiwa
pembunuhan terhadap Husein cucu Nabi Saw.- Ia tinggal disana hingga berusia
tujuh puluh tahun, lalu pindah ke Irak pada tahun 131 H. Di Irak ia menetap
selama lima belas tahun, dan meninggal di Baghdad pada tahun 146 H di usia
delapan puluh lima tahun. Di Irak ia banyak meriwayatkan hadis, namun banyak
yang meragukan hadis-hadisnya yang ia riwayatkan di Irak. Kehidupannya seakan
terbagi menjadi dua, di Madinah, sebagai sosok terpercaya, dan di Irak sebagai
sosok pendusta.
Umtuk
mengetahui kualitas riwayat diatas, dapat diketahui dari beberapa fakta
berikut. Pertama, banyak komentar negatif
dari ahli jarh wa ta’dil mengenainya, diantaranya adalah Ibn Hajar al-Asqalani
dalam Tahdzib-nya ketika mewawancarai
Ya’qub bin Syaibah, ia berkata: “dan berkatalah Ya’qubbin Syaibah: (Hisyam) adalah
orang yang terpercaya, kuat riwayatnya, tidak ada yang menolaknya, kecuali
setelah ia tinggal di Irak. Di Irak, ia menyebarkan riwayat yang
mengatasnamakan ayahnya, tapi ditolak oleh penduduk negerinya sendiri
(Madinah). Di Madinah, ia meriwayatkan hadis yang benar-benar ia dengar dari
ayahnya, tapi di Irak, ia mengatakan mendengar dari ayahnya, padahal ia tidak
mendengarnya, tapi dari orang lain”.
Syamsuddin
al-Dzahabi, juga berkomentar tentangnya: “Hisyam bin Urwah adalah seorang
diantara orang-orang pintar, hujjah, imam, akan tetapi ingatannya menurun di
masa tua”. (Mizan I’tidal). Dari
keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hisyam, menurut kaidah ilmu hadis,
tidak memenuhi syarat standart adil
dan dhabit (memiliki ingatan kuat)
seorang perawi. Para ahli hadis telah men-jarh
(menghukuminya negatif) dengan jelas, maka ia tereliminasi dan riwayatnya gugur,
harus ditolak.
Kedua, fakta
sejarah bahwa Aisyah telah masuk Islam di masa awal dakwah Nabi. Sejarawan Ibnu
Hisyam mencatat mengenai keberhasilan dakwah Islam Abu Bakar r.a terhadap kedua
putrinya. “Asma’ binti Abu Bakar dan Aisyah binti Abu Bakar yang pada waktu itu
masih kecil” (al-Sirah al-Nabawiyah, juz 2, h. 92). Masa awal dakwah Nabi
adalah dikala beliau berusia empat puluh tahun. Dan disaat itu Aisyah kecil
telah masuk Islam, anggablah kala itu ia berusia enam tahun. Maka ketika Nabi
berusia limah puluh satu, umur Aisyah adalah tujuh belas tahun 6+(51-40)=17,
dan kumpul dengan Nabi di umur dua puluh tahun “jika Aisyah masuk Islam Umur
enam tahun”,namun jika ia masuk Islam
pada umur tujuh atau delapan, pembaca bisa menilainya sendiri.
Ketiga,
terdapat sebuah hadis yang menegaskan bahwa Nabi menolak lamaran untuk putrinya
karena masih kecil. Sebuah hadis dari Sunan al-Nasa’i “Abu Bakar dan Umar
pernah meminang Fatimah, lalu Rasulullah berkata: sesungguhnya ia masih kecil.
Hingga dikemudian hari Ali melamarnya dan Nabi mengawinkannya”(Sunan al-Nasa’i,
bi syarhi hafidz Jalaluddin
al-Suyuthi, bab Tazawwuj al-Mar’ah
Mitsluha fi al-Sinn h. 62). Hadis diatas menunjukan bahwa Rasulullah tidak
menghendaki pernikahan dini Fatimah. Hal ini sangat penting, mengingat bahwa
menolak lamaran adalah hal yang dapat menimbulkan fitnah, apalagi yang meminang
Fatimah adalah sahabat dekat Nabi, bahkan besannya sendiri. Tentulah Nabi
memiliki pertimbangan besar untuk tidak menikahkan anaknya di usia dini, baik
kesehatan dan lain sebagainya. Dan tidak mungkin beliau Saw. melakukannya pada
orang lain sedangkan ia sendiri melarangnya.
Keempat,
Rasulullah melarang menikahi wanita tanpa izin. Disebutkan bahwa beliau
bersabda “tidak boleh menikahi janda kecuali setelah terjadi kesepakatan, juga
tidak boleh menikahi gadis kecuali setelah mendapat izin” (Bukhari, No. 5136).
Hadis ini jelas, melarang menikahi seorang wanita tanpa izin dari wanita
tersebut. Sedangkan hadis dari redaksi Hisyam menyebutkan bahwa Aisyah tidak
tahu menahu persoalan pernikahan dirinya dengan Nabi. Ia masih bermain dan
tidak mengerti arti dari sebuah pernikahan. Tidak mungkin Nabi bertolak
belakang dengan apa yang telah ia katakan.
Dari
keterangan diatas, rasanya telah cukup untuk menolak riwayat diatas, sekalipun
diriwayatkan oleh orang lain selain Hisyam. Dan tidak membenarkan pernikahan
dibawah umur. Wallahu A’lam bi al-Shawab.