Jumat, 13 April 2012

Menikahi Anak Kecil dibawah Umur, Bolehkah?
Studi Kasus Ummul Mukminin Aisyah


Di negeri ini, menikahi anak perempuan dibawah umur tampaknya sudah menjadi trend tersendiri. Hampir di setiap strata publik, mulai dari Kiyai hingga masyarakat awam, melakukannya. Kita tentu masih ingat sosok Syekh Puji, yang menikahi perempuan dibawah umur, Lutfiana Ulfa yang berumur 12 tahun. Kasus ini tersebar luas, hingga seluruh masyarakat Indonesia mengetahuinya. Sontak tindakan Syekh Puji mendapat kecaman berbagai LSM, khususnya KPAI, sampai-sampai Kak Seto mendatangainya dan berbicara langsung agar membatalkan tindakannya. Karena tindakan ini adalah pelecehan seksual. Dapat dikatakan secara psikologis bahwa lelaki yang melakukannya mengidap pedofilia. Meski ditentang dan prilakunya dianggap menyimpang, Syekh Puji tetap bersikeras dan tidak merasa bersalah, karena ia menganggap tindakannya sesuai dengan Sunnah Nabi.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia Islam. Di Yaman, seorang pengantin perempuan dibawah umur tewas lima hari setelah pernikahannya akibat pendarahan dan kerusakan organ seksual. Ia adalah Ilham Mahdi al-Assi perempuan berusia 13 tahun. Meskipun pemerintah Indonesia, Yaman dan di berbagai negara telah menetapkan UU yang melarang pernikahan dini, tetapi masih banyak yang melakukannya secara diam-diam.
Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat muslim yang menganggap bahwa menikahi anak kecil sebagai Sunnah Nabi. Mereka berdalih bahwa Nabi Muhammad melakukannya, sebab ia menikahi Ummul Mukmimin Aisyah tatkala berusia enam tahun, dan kumpul serumah tatkala berusia sembilan tahun. Oleh karena itu, melakukannya adalah Sunnah dan baik. Jika ada yang menilai bahwa tindakan menikahi anak kecil adalah menyimpang, maka penilaian itu tidak benar. Sebab Rasulullah melakukannya, dan beliau Saw adalah suri teladan yang agung dan patut ditiru (Q.S. al-Qalam: 4)
Walaupun mereka ingin meniru prilaku Nabi, namun mereka terlalu terburu-buru membenarkan tindakan beliau Saw. Jika tindakan Nabi dianggap menyimpang, dan disisi lain beliau sebagai suri teladan yang patut ditiru, maka kebenaran tindakan tersebut patut diragukan. Seorang muslim sejati seharusnya sensitif terhadap hal-hal tabuh yang dilakukan Rasulullah dan kembali menyoroti serta meneliti ulang kebenarannya. Tidak hanya pada hal ini saja, namun pada berbagai hal yang tak pantas dilakukan oleh sosok Nabi.
Penulis tidak hanya meragukan riwayat pernikahan dini Ummul Mukminin Aisyah dengan Nabi Muhammad, tapi menolak riwayat tersebut dan mengecam tindakan itu serta mengecam pelaku yang mengatasnamakan Sunnah Nabi. Agar perkara ini jelas, tiada lain penulis hendak melihat kembali riwayat tersebut dan mengoreksinya baik dari sisi sanad serta matan. Penulis kutip satu riwayat yang terdapat dalam Sahih Bukhari.:
“Disampaikan kepada kami oleh Farwah bin Abi Mighra’ dari Ali bin Mashur dari Hisyam (bin Urwah) dari ayahnya dari Aisyah r.a berkata: Nabi Saw. menikahiku, ketika itu aku adalah seorang anak berumur enam tahun. Kemudian kami hijrah ke Madinah dan kami sampai di rumah klan Harts bin Khazraj. Saat itu aku demam, rambutku rontok dan terurai yang kemudian tumbuh lagi sampai pundak.
Maka datanglah ibuku, Ummu Ruman, ketika itu aku berada dalam ayunan bersama teman-temanku. Ibu memanggilku akupun mendatanginya tanpa mengetahui apa yang dikehendakinya dariku. Ia memegang tanganku sampai ia menghentikanku di depan pintu rumah. Aku tersenggal-sengal, kemudian ia mengambil air dan mengusap wajah dan kepalaku. Lalu ia memasukkanku ke rumah. Didalam rumah terdapat kaum wanita Anshar yang berkata, ‘semoga engkau dalam kebaikan, berkah dan keberuntungan’ dan ia menyerahkanku pada mereka. Lalu mereka mendandani diriku. Tak disangka-sangka Rasulullah mendatangiku di pagi itu. Dan mereka menyerahkanku padanya. Kala itu umurku sembilan tahun”.(Sahih Bukhari: Kitab Manaqib al-Anshar, bab Tazwij al-Nabi Aisyah, No. 3894)
Demikianlah riwayat pernikahan dini Ummul Mukmin Aisyah dengan Nabi Muhammad yang penuh dengan kejanggalan. Riwayat serupa dengan berbagai redaksi dapat dijumpai diberbagai kitab-kitab hadis. Beberapa catatan yang perlu diingat mengenai riwayat diatas, yaitu pertama, Nabi menikahi Aisyah dua tahun sebelum hijrah, saat itu Aisyah berumur enam tahun, dan umur Nabi lima puluh satu tahun (Bukhari, hadis No 3896).
Kedua, Nabi kumpul dengan Aisyah setahun setelah hijrah, Aisyah berusia Sembilan tahun dan Nabi berusia lima puluh empat tahun. Ketiga, Aisyah tidak mengetahui bahwa ia dinikahkan dengan Nabi, dikatakan dalam riwayat diatas “tak disangka-sangka Rasulullah mendatangiku dipagi itu, dan mereka menyerahkanku padanya”, ini mengindikasikan bahwa Nabi menikahinya tanpa izin darinya.
 Keempat, Aisyah terlihat begitu kekanak-kanakan dan gemar bermain “aku berada dalam ayunan bersama teman-temanku”, sehingga tidak pantas disebut wanita yang cukup umur untuk dinikahi.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diketahui, bahwa masyarakat Arab primitif tidak biasa menulis hari kelahiran mereka. Banyak diantara para tokoh Islam yang tidak diketahui tanggal lahirnya. Ada juga yang kebetulan diketahui tanggal atau tahun kelahirannya karena bertepatan dengan suatu peristiwa penting. Nabi Muhammad misalnya, tanggal kelahirannya masih diperselisihkan. Ada yang mengatakan tanggal 12 Rabi’ al-Awwal, ada juga yang mengatakan tanggal 17 Rabi’ al-Awwal. Namun tidak ada yang berselisih mengenai tahun kelahirannya, karena bertepatan dengan penyerangan Abrahah ke Mekkah dengan pasukan gajah, sehingga tahun itu disebut tahun gajah, sekitar 53 tahun sebelum Nabi hijrah.
Dengan demikian, mencari tanggal lahir tokoh-tokoh kita, bagaikan mencari jarum dalam jerami. Kebiasaan tidak mencatat tanggal lahir ini, berlangsung hingga satu milinium, Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Saud, pendiri kerajaan Arab Saudi yang meninggal pada tahun 1953, tidak diketahui pasti tanggal lahirnya. Bahkan di bumi nusantara ini juga banyak yang tidak mencatat tanggal lahir mereka, khususnya masyarakat pinggiran, sampai sekarang.
Kembali ke permasalahan riwayat tadi, Sejauh yang penulis dapati, terdapat dua puluh tiga riwayat tentang pernikahan dini Aisyah di empat kitab, yakni Bukhori, Muslim, Nasa’i, Ibn Majah. Diantara dua puluh tiga riwayat tersebut, tujuh belas riwayat bersumber dari Hisyam bin Urwah. Sisanya dari murid-murid Hisyam, yakni Ma’mar, Abu Mu’awiyah, Waki’ (Tahdzib al-Tahdzib, dalam biografi Hisyam) serta para pendusta lainnya.
Sosok Hisyam bin Urwah, sangat penting untuk diketahui. Karena ia adalah tokoh sentral dari tersebarnya banyak riwayat yang sedang kita kaji. Ia lahir di Madinah pada tahun 61 H - Tahun kelahirannya diketahui, karena bertepatan dengan peristiwa pembunuhan terhadap Husein cucu Nabi Saw.- Ia tinggal disana hingga berusia tujuh puluh tahun, lalu pindah ke Irak pada tahun 131 H. Di Irak ia menetap selama lima belas tahun, dan meninggal di Baghdad pada tahun 146 H di usia delapan puluh lima tahun. Di Irak ia banyak meriwayatkan hadis, namun banyak yang meragukan hadis-hadisnya yang ia riwayatkan di Irak. Kehidupannya seakan terbagi menjadi dua, di Madinah, sebagai sosok terpercaya, dan di Irak sebagai sosok pendusta.
Umtuk mengetahui kualitas riwayat diatas, dapat diketahui dari beberapa fakta berikut. Pertama, banyak komentar negatif dari ahli jarh wa ta’dil mengenainya, diantaranya adalah Ibn Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib-nya ketika mewawancarai Ya’qub bin Syaibah, ia berkata: “dan berkatalah Ya’qubbin Syaibah: (Hisyam) adalah orang yang terpercaya, kuat riwayatnya, tidak ada yang menolaknya, kecuali setelah ia tinggal di Irak. Di Irak, ia menyebarkan riwayat yang mengatasnamakan ayahnya, tapi ditolak oleh penduduk negerinya sendiri (Madinah). Di Madinah, ia meriwayatkan hadis yang benar-benar ia dengar dari ayahnya, tapi di Irak, ia mengatakan mendengar dari ayahnya, padahal ia tidak mendengarnya, tapi dari orang lain”.
Syamsuddin al-Dzahabi, juga berkomentar tentangnya: “Hisyam bin Urwah adalah seorang diantara orang-orang pintar, hujjah, imam, akan tetapi ingatannya menurun di masa tua”. (Mizan I’tidal). Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hisyam, menurut kaidah ilmu hadis, tidak memenuhi syarat standart adil dan dhabit (memiliki ingatan kuat) seorang perawi. Para ahli hadis telah men-jarh (menghukuminya negatif) dengan jelas, maka ia tereliminasi dan riwayatnya gugur, harus ditolak.
Kedua, fakta sejarah bahwa Aisyah telah masuk Islam di masa awal dakwah Nabi. Sejarawan Ibnu Hisyam mencatat mengenai keberhasilan dakwah Islam Abu Bakar r.a terhadap kedua putrinya. “Asma’ binti Abu Bakar dan Aisyah binti Abu Bakar yang pada waktu itu masih kecil” (al-Sirah al-Nabawiyah, juz 2, h. 92). Masa awal dakwah Nabi adalah dikala beliau berusia empat puluh tahun. Dan disaat itu Aisyah kecil telah masuk Islam, anggablah kala itu ia berusia enam tahun. Maka ketika Nabi berusia limah puluh satu, umur Aisyah adalah tujuh belas tahun 6+(51-40)=17, dan kumpul dengan Nabi di umur dua puluh tahun “jika Aisyah masuk Islam Umur enam tahun”,namun  jika ia masuk Islam pada umur tujuh atau delapan, pembaca bisa menilainya sendiri.
Ketiga, terdapat sebuah hadis yang menegaskan bahwa Nabi menolak lamaran untuk putrinya karena masih kecil. Sebuah hadis dari Sunan al-Nasa’i “Abu Bakar dan Umar pernah meminang Fatimah, lalu Rasulullah berkata: sesungguhnya ia masih kecil. Hingga dikemudian hari Ali melamarnya dan Nabi mengawinkannya”(Sunan al-Nasa’i, bi syarhi hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, bab Tazawwuj al-Mar’ah Mitsluha fi al-Sinn h. 62). Hadis diatas menunjukan bahwa Rasulullah tidak menghendaki pernikahan dini Fatimah. Hal ini sangat penting, mengingat bahwa menolak lamaran adalah hal yang dapat menimbulkan fitnah, apalagi yang meminang Fatimah adalah sahabat dekat Nabi, bahkan besannya sendiri. Tentulah Nabi memiliki pertimbangan besar untuk tidak menikahkan anaknya di usia dini, baik kesehatan dan lain sebagainya. Dan tidak mungkin beliau Saw. melakukannya pada orang lain sedangkan ia sendiri melarangnya.
Keempat, Rasulullah melarang menikahi wanita tanpa izin. Disebutkan bahwa beliau bersabda “tidak boleh menikahi janda kecuali setelah terjadi kesepakatan, juga tidak boleh menikahi gadis kecuali setelah mendapat izin” (Bukhari, No. 5136). Hadis ini jelas, melarang menikahi seorang wanita tanpa izin dari wanita tersebut. Sedangkan hadis dari redaksi Hisyam menyebutkan bahwa Aisyah tidak tahu menahu persoalan pernikahan dirinya dengan Nabi. Ia masih bermain dan tidak mengerti arti dari sebuah pernikahan. Tidak mungkin Nabi bertolak belakang dengan apa yang telah ia katakan.
Dari keterangan diatas, rasanya telah cukup untuk menolak riwayat diatas, sekalipun diriwayatkan oleh orang lain selain Hisyam. Dan tidak membenarkan pernikahan dibawah umur. Wallahu A’lam bi al-Shawab.