Minggu, 15 Januari 2012

Dimensi Sosial Sholat

                Dalam sebuah buku yang berjudul “Buat Apa Shalat!?” karya Haidar Bagir, menukil  sebuah penjelasan nabi saw  selaku founder father umat Islam tentang sholat. Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkannya dari kekejian dan kemungkaran . penjelasan diatas sangatlah sederhana, bagaimana diterimanya sholat seseorang  tercerminkan dari perbuatannya.  Hal ini menuntut setiap muslim untuk melakukan sholat yang sebenarnya, hingga akan berdampak baik pada perilaku mereka.
                Sholat yang dilaksanakan segenap umat Islam bukan hanya sekedar melakukan ritual seperti berdiri, rukuk dan sujud saja. Lebih dari pada itu yaitu dengan kehadiran hati atau juga disebut  kekhusukan. Hal ini sangat penting mengingat sholat merupakan mediasi  hubungan seorang hamba pada tuhan yang menciptakannya.
                kehadiran hati dalam shalat akan terasa bila melakukan seluruh gerakan shalat dengan thuma’ninah. Thuma’ninah atau ketenangan dalam shalat sangat ditekankan hingga menjadi sebuah rukun. Nabi sendiri menekankan akan ketenangan dalam shalat, dalam salah satu perkataannya beliau menuturkan: tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.
                Dengan kehadiran hati dan tenang dalam melakukan shalat maka hubungan seorang hamba pada tuhan akan benar-benar terjadi, inilah juga yang disebut nabi saw bahwa shalat itu mi’rajnya orang mukmin. Hati seorang mukmin akan naik ber-mi;raj keharibaan tuhan sehingga hatinya akan terisi oleh sifat-sifat tuhan yang akan terealisasi dalam perbuatannya.
                Bahkan secara syari’at, pakaian yang digunakan saat shalat haruslah suci dan diperoleh dengan cara yang halal. Tidaklah sah seorang melakukan shalat dengan pakaian hasil curian, bahkan Allamah Thaba’thaba’I –seorang filosof, sufi dan ahli tafsir- mengungkapkan “ jika ada seutas benang pun dalam pakaian itu yang diperoleh secara haram shalatnya pun tidak sah”. Hal ini menutut setiap muslim untuk mencari uang dengan cara yang halal, sebab jika tidak maka percuma shalat yang ia lakukan selama ini.  
                Mengenai kesempurnaan shalat Rasulullah mengajarkan “Shalat tidak sempurnah melainkan dengan zakat inilah kiranya ketetapan tuhan agar kita tidak menjadi manusia serakah dan egois. Dalam hampir disetiap perintah shalat selalu terdapat perintah untuk menunaikan zakat, bahkan perintah akan kedua perkara tersebut telah berlaku bagi umat-umat terdahulu sebelum Islam.
                Dalam surat Al-Ma’un disebutkan tentang orang-orang yang melaksanakan shalat akan tetapi mereka dikutuk; disebabkan mereka tidak memperhatikan kondisi sosial sekitar mereka, dimana mereka membentak dan berlaku kasar terhadap anak-anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin. Demikian besar Islam menekankan agar manusia selalu perhatian terhadap kondisi sosial masyarakat dan berbuat baik pada sesama dengan hati yang ikhlas. Dan semuanya akan terealisasi dengan baik melalui shalat yang benar.

Sabtu, 14 Januari 2012

Bijak ala Sufi

Terdapat sebuah hadits yang berkata: saat fitnah mulai menyebar jadilah engkau seperti anak unta; tidak memiliki punggung yang kuat untuk dinaiki, dan tidak memiliki susu untuk diperah. Saat kita membaca dinamika sejarah manusia; dalam setiap fase kehidupan masyarakat, disana selalu terdapat pertentangan dalam hal kekuasaan. Seringkali dalam pertentangan tersebut dilibatkan orang-orang yang dinilai memiiki pengaruh terhadap masyarakat banyak. Tentu dalam keterlibatan orang-orang tersebut akan menguntungkan pihak-pihak yang atau ingin berkuasa.
Diantara orang-orang yang dilibatkan dalam masalah ini, seperti yang tertera dalam sejarah adalah para agamawan. Pengaruh agamawan terhadap masyarakat sangatlah besar mengingat mereka lebih dekat dan menjadi tempat rujukan terhadap berbagai problema yang terjadi baik bersifat pribadi atau sosial. Pengaruh agamawan ini semakin memperkokoh para penguasa yang hanya menjadikan mereka sebagai alat penguat atas kekuasaannya.
Keikutsertaan kaum agamawan menjadikan masyarakat buta akan kebenaran. Hal ini semakin tak terlihat dengan adanya kaum agamawan lain yang bertentangan dengan penguasa. Kegelapan ditindih kegelapan membawa masyarakat pada konflik dan bersikap ekstrim terhadap selain mereka. Kaum awam tak lagi memandang kebenaran yang bersifat abstrak, namun yang mereka lihat adalah sosok  yang mereka anggab benar karena memiliki kredebelitas keilmuan.
Siapa saja, entah itu kaum agamawan atau bukan, apabila ia memiliki kualitas maka segera ia akan dimanfaatkan demi kepentingan kekuasaan. Dalam kondisi yang begitu buruk hingga kebenaran terlihat samar, seseorang dituntut untuk meletakkan dirinya pada posisi yang tepat; tidak dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu yang menjadikan dirinya dan masyarakan berada didalam lembah keraguan.
Hadits diatas sangatlah tepat ketika menggambarkan suatu fitnah (kekacauan) yang terjadi dalam suatu masyarakat dan tindakan yang tepat yang seharusnya dilakukan seseorang. Bagaikan anak unta yang tidak memiliki punggung yang kuat untuk dinaiki penguasa sebagai alat untuk melancarkan kekuasaannya, juga tak memiliki susu untuk diperah oleh kelompok tertentu yang menentang penguasa.
Permasalahan ini tidak terjadi hanya antara penguasa dan yang menentangnya, tetapi lebih luas dari pada itu yang juga menyebabkan jatuhnya masyarakat dalam kubangan kesamaran. Seperti munculnya berbagai organisasi yang mengatasnamakan agama, partai politik dan lainnya. Sikap menjadi seperti anak unta juga pernah dilakukan pada masa awal Islam; pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiah sebagaimana yang dilakukan oleh Hasan Basri (642-728), Ja’far Shadiq (702-765)dan Musa Kadzim (746-799), juga yang dilakukan oleh banyak orang yang digolongkan sebagai kaum sufi.
Akan tetapi sikap menjadi anak untak tak lantas menjadikan mereka acuh terhadap masyarakat dan kekuasaan, melainkan justru menebarkan benih-benih kebenaran dengan merubah pola fikir masyarakan, bahkan para pejabat yang berkuasa. Cara mereka dalam menghadapi masalah pelik ini dalam kondisi yang sangat kacau sangatlah bijak, bagaimana mereka mampu menerangi pikiran buruk para pejabat yang bersumber dari hawa nafsu disamping tidak menjadikan masyarakat buta akan kebenaran.
Cara seperti inilah yang seharusnya dilakukan oleh para agamawan dan kaum intelektual dalam menghadapi kekacauan Negara yang bersifat global saat ini, bukan malah bergabung dengan pihak tertentu yang hanya menjadikannya sebagai alat dan menimbulkan keraguan dalam masyarakat.