Terdapat
sebuah hadits yang berkata: saat fitnah
mulai menyebar jadilah engkau seperti anak unta; tidak memiliki punggung yang
kuat untuk dinaiki, dan tidak memiliki susu untuk diperah. Saat kita
membaca dinamika sejarah manusia; dalam setiap fase kehidupan masyarakat,
disana selalu terdapat pertentangan dalam hal kekuasaan. Seringkali dalam
pertentangan tersebut dilibatkan orang-orang yang dinilai memiiki pengaruh
terhadap masyarakat banyak. Tentu dalam keterlibatan orang-orang tersebut akan
menguntungkan pihak-pihak yang atau ingin berkuasa.
Diantara
orang-orang yang dilibatkan dalam masalah ini, seperti yang tertera dalam
sejarah adalah para agamawan. Pengaruh agamawan terhadap masyarakat sangatlah
besar mengingat mereka lebih dekat dan menjadi tempat rujukan terhadap berbagai
problema yang terjadi baik bersifat pribadi atau sosial. Pengaruh agamawan ini
semakin memperkokoh para penguasa yang hanya menjadikan mereka sebagai alat
penguat atas kekuasaannya.
Keikutsertaan
kaum agamawan menjadikan masyarakat buta akan kebenaran. Hal ini semakin tak
terlihat dengan adanya kaum agamawan lain yang bertentangan dengan penguasa.
Kegelapan ditindih kegelapan membawa masyarakat pada konflik dan bersikap
ekstrim terhadap selain mereka. Kaum awam tak lagi memandang kebenaran yang
bersifat abstrak, namun yang mereka lihat adalah sosok yang mereka anggab benar karena memiliki
kredebelitas keilmuan.
Siapa
saja, entah itu kaum agamawan atau bukan, apabila ia memiliki kualitas maka
segera ia akan dimanfaatkan demi kepentingan kekuasaan. Dalam kondisi yang
begitu buruk hingga kebenaran terlihat samar, seseorang dituntut untuk
meletakkan dirinya pada posisi yang tepat; tidak dimanfaatkan oleh kepentingan
tertentu yang menjadikan dirinya dan masyarakan berada didalam lembah keraguan.
Hadits
diatas sangatlah tepat ketika menggambarkan suatu fitnah (kekacauan) yang
terjadi dalam suatu masyarakat dan tindakan yang tepat yang seharusnya
dilakukan seseorang. Bagaikan anak unta yang tidak memiliki punggung yang kuat
untuk dinaiki penguasa sebagai alat untuk melancarkan kekuasaannya, juga tak
memiliki susu untuk diperah oleh kelompok tertentu yang menentang penguasa.
Permasalahan
ini tidak terjadi hanya antara penguasa dan yang menentangnya, tetapi lebih
luas dari pada itu yang juga menyebabkan jatuhnya masyarakat dalam kubangan
kesamaran. Seperti munculnya berbagai organisasi yang mengatasnamakan agama,
partai politik dan lainnya. Sikap menjadi seperti anak unta juga pernah
dilakukan pada masa awal Islam; pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiah
sebagaimana yang dilakukan oleh Hasan Basri (642-728), Ja’far Shadiq (702-765)dan
Musa Kadzim (746-799), juga yang dilakukan oleh banyak orang yang digolongkan
sebagai kaum sufi.
Akan
tetapi sikap menjadi anak untak tak lantas menjadikan mereka acuh terhadap
masyarakat dan kekuasaan, melainkan justru menebarkan benih-benih kebenaran
dengan merubah pola fikir masyarakan, bahkan para pejabat yang berkuasa. Cara
mereka dalam menghadapi masalah pelik ini dalam kondisi yang sangat kacau
sangatlah bijak, bagaimana mereka mampu menerangi pikiran buruk para pejabat
yang bersumber dari hawa nafsu disamping tidak menjadikan masyarakat buta akan
kebenaran.
Cara
seperti inilah yang seharusnya dilakukan oleh para agamawan dan kaum
intelektual dalam menghadapi kekacauan Negara yang bersifat global saat ini,
bukan malah bergabung dengan pihak tertentu yang hanya menjadikannya sebagai
alat dan menimbulkan keraguan dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar